Sebelumnya, aku ucapkan terima kasih atas rasa sayangmu padaku. Rasa sayang yang membuatmu membenci air mataku. Tapi entah mengapa, air mata ini tetap sering menampakkan diri. Dan anehnya, itu semua karena kamu! Iya, aneh. Karena kamu yang selalu bilang kalau benci melihatku menangis. Jadi sebenarnya, kamu pembenci air mataku atau justru pencinta-nya?!
Benar kata orang, batas antara benci dan cinta itu sangat tipis. Setipis kulit bawang. Sampai mataku terasa perih setiap melewatinya. Tapi tenang saja, aku tak mungkin membencimu. Karena membencimu adalah satu hal yang paling ku benci. Sebenarnya aku bisa saja membencimu. Mungkin nanti ketika aku sudah bosan mencintamu. Tapi sayang, aku tak pernah bosan.
Ah, tapi kurasa tak semua tangisku karenamu bernafaskan duka. Seringkali kau buat juga ku menangis bahagia. Banyak hal-hal kecil darimu yang membuatku sadar bahwa kamu memang mencintaiku, dengan caramu. Kamu mencintaiku dengan keegoisanmu. Kamu mencintaiku dengan keacuhanmu. Kamu mencintaiku dengan ketidakromantisanmu. Ya, terkadang cinta itu tumbuh dari hal-hal kecil. Aku tak butuh hal besar semacam makan malam super romantis yang sengaja kau siapkan. Kamu rela berhujan-hujan demi mengantar nasi uduk tempe untuk makan malamku saja sudah membuatku berkaca-kaca.
Namun tak bisa dipungkiri, kita sangat berbeda. Bagaikan dua kutub pada sebuah magnet batang. Selalu bersama, sekalipun saling bertolak-belakang. Baik aku maupun kamu harus bisa saling mengalah. Tapi buatku itu bukan mengalah, sebut saja pengertian. Walaupun untuk mengertimu butuh kesabaran ekstra tinggi. Tak jarang pula air mata terlahir dari sini. Lantas apa yang membuatku bertahan? Aku pun belum menemukan jawabnya. Aku hanya tak sanggup kehilanganmu. Atau mungkin aku hanya terjebak dalam kenyamanan suatu hubungan? Apapun itu, aku tak bisa bayangkan bisa tertawa lagi bila tanpamu.
Baiklah, pembenci air mataku, terima kasih telah banyak mengertiku. Terima kasih telah mengertiku yang malas mandi, terima kasih telah mengertiku yang kadang tuli, terima kasih telah mengertiku yang sangat moody, dan terima kasih telah mengertiku yang sering tak mengerti.
Kamu tak suka diatur. Oleh karenanya, kamu tak pernah mengaturku. Hanya satu yang aku pinta: Jangan buat aku terlalu sering menangis! Tapi kamu pasti menjawab: "Aku kan tak pernah menyuruhmu untuk menangis." Baiklah, kalau begitu aku hanya minta: Jangan telat makan, ya! Aku tak mau sakit kepalamu kambuh karena kelaparan.
Aku mencintaimu.
Namun tak bisa dipungkiri, kita sangat berbeda. Bagaikan dua kutub pada sebuah magnet batang. Selalu bersama, sekalipun saling bertolak-belakang. Baik aku maupun kamu harus bisa saling mengalah. Tapi buatku itu bukan mengalah, sebut saja pengertian. Walaupun untuk mengertimu butuh kesabaran ekstra tinggi. Tak jarang pula air mata terlahir dari sini. Lantas apa yang membuatku bertahan? Aku pun belum menemukan jawabnya. Aku hanya tak sanggup kehilanganmu. Atau mungkin aku hanya terjebak dalam kenyamanan suatu hubungan? Apapun itu, aku tak bisa bayangkan bisa tertawa lagi bila tanpamu.
Baiklah, pembenci air mataku, terima kasih telah banyak mengertiku. Terima kasih telah mengertiku yang malas mandi, terima kasih telah mengertiku yang kadang tuli, terima kasih telah mengertiku yang sangat moody, dan terima kasih telah mengertiku yang sering tak mengerti.
Kamu tak suka diatur. Oleh karenanya, kamu tak pernah mengaturku. Hanya satu yang aku pinta: Jangan buat aku terlalu sering menangis! Tapi kamu pasti menjawab: "Aku kan tak pernah menyuruhmu untuk menangis." Baiklah, kalau begitu aku hanya minta: Jangan telat makan, ya! Aku tak mau sakit kepalamu kambuh karena kelaparan.
Aku mencintaimu.



0 Response to "Teruntuk, Pembenci Air Mataku"
Posting Komentar